SDKI - D.0061 Disrefleksia Otonom
Pengetahuan Umum
Disrefleksia Otonom (autonomic dysreflexia) adalah diagnosa keperawatan yang menggambarkan kondisi kesehatan yang serius yang terjadi pada individu dengan cedera sumsum tulang belakang di atas level thorakal 6 atau 7. Disrefleksia otonom terjadi ketika ada rangsangan atau iritasi pada sistem saraf simpatis di bawah tingkat cedera, yang menyebabkan peningkatan tekanan darah dan respons simpatik yang lain, seperti berkeringat dan merasa cemas.
Penyebab utama disrefleksia otonom adalah distensi kandung kemih atau usus besar, tetapi dapat juga disebabkan oleh luka atau infeksi pada kulit atau kerusakan pada tulang belakang. Gejala disrefleksia otonom meliputi sakit kepala, keringat berlebih, kulit pucat atau merah, mual, muntah, dan peningkatan tekanan darah.
Pengobatan disrefleksia otonom harus segera dilakukan untuk mencegah komplikasi serius seperti serangan jantung atau stroke. Tindakan pertama adalah mengidentifikasi dan menghilangkan penyebab utama disrefleksia otonom. Selain itu, dapat diberikan obat untuk menurunkan tekanan darah atau memblokir respons simpatik, seperti nitrogliserin, nifedipine, atau fentolamin.
Perawat memiliki peran penting dalam mencegah, mengidentifikasi, dan menangani disrefleksia otonom pada pasien dengan cedera sumsum tulang belakang. Perawat harus memberikan edukasi pada pasien dan keluarga tentang tanda dan gejala disrefleksia otonom serta bagaimana menghindari penyebabnya. Selain itu, perawat harus memonitor tanda vital pasien secara ketat dan segera memberikan tindakan medis jika ditemukan tanda-tanda disrefleksia otonom.
Dalam kesimpulannya, disrefleksia otonom adalah kondisi medis serius yang dapat terjadi pada individu dengan cedera sumsum tulang belakang di atas tingkat thorakal 6 atau 7. Perawat memainkan peran penting dalam mencegah, mengidentifikasi, dan menangani kondisi ini untuk mencegah komplikasi serius dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI)
Definisi
Respon sistem saraf simpatis yang terjadi secara spontan dan mengancam jiwa terhadap stimulus berbahaya akibat cedera medula spinalis pada T7 atau diatasnya
Penyebab
- Cedera pada medula spinalis adalah kerusakan pada jaringan saraf yang terdapat di tulang belakang. Cedera ini dapat mengakibatkan gangguan fungsi pada bagian tubuh yang dihubungkan dengan saraf yang terkena. Cedera medula spinalis dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kecelakaan, jatuh, atau infeksi.
- Pembedahan medula spinalis T7 atau diatasnya adalah operasi yang dilakukan pada bagian tulang belakang di atas atau sejajar dengan vertebra T7. Pembedahan ini dapat dilakukan untuk mengatasi berbagai masalah kesehatan yang terkait dengan medula spinalis, seperti hernia tulang belakang, kanker tulang belakang, atau cedera medula spinalis.
- Proses keganasan pada medula spinalis adalah pertumbuhan sel-sel abnormal atau kanker pada jaringan medula spinalis. Proses ini dapat mengakibatkan berbagai gejala, seperti nyeri, kesemutan, lemah pada otot, hingga kesulitan berjalan. Penanganan terhadap keganasan medula spinalis dapat meliputi kemoterapi, radioterapi, atau pembedahan.
Gejala & Tanda Mayor:
| Subjektif | Objektif |
|
|
Gejala & Tanda Minor:
| Subjektif | Objektif |
|
|
Kondisi Klinis Terkait
Cedera medula spinalis adalah kerusakan pada saraf tulang belakang yang dapat mengakibatkan kecacatan atau kelumpuhan. Cedera medula spinalis dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kecelakaan, jatuh, atau infeksi.
Fraktur adalah kerusakan pada tulang yang terjadi akibat tekanan atau trauma pada tulang. Fraktur dapat terjadi pada berbagai bagian tubuh dan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti jatuh, kecelakaan, atau olahraga.
Trombosis vena dalam adalah kondisi di mana terbentuknya gumpalan darah atau trombus di dalam vena yang dapat mengganggu aliran darah. Trombosis vena dalam dapat terjadi di berbagai bagian tubuh dan dapat menyebabkan gejala seperti nyeri dan pembengkakan. Kondisi ini dapat terjadi pada orang yang mengalami kelainan darah, obesitas, atau setelah operasi.
Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI)
Luaran Utama
Luaran Tambahan
Eliminasi Urin (L.04034)
Fungsi Sensori (L.06048)
Integritas Kulit dan Jaringan (L.14125)
Kinerja Pengasuhan (L.13117)
Status Sirkulasi (L.02016)
Tingkat Nyeri (L.08066)
Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI)
Intervensi Utama
Intervensi Pendukung
Insersi Intravena (I.02030)
Kateterisasi Urine (I.04147)
Latihan Batuk Efektif (I.01006)
Manajemen Cairan (I.03098)
Manajemen Eliminasi Fekal (I.04151)
Manajemen Eliminasi Urine (I.04152)
Manajemen Jalan Napas (I.01011)
Manajemen Nutrisi (I.03119)
Manajemen Nyeri (I.08238)
Pemantauan Cairan (I.03121)
Pemantauan Neurologis (I.06197)
Pemantauan Tanda Vital (I.02060)
Pemberian Obat (I.02062)
Pemberian Obat Intraspinal (I.06199)
Pemberian Obat Intravena (I.02065)
Pemberian Obat Oral (I.03128)
Pemberian Obat Intramuskular (I.02063)
Pencegahan Infeksi (I.14539)
Pengaturan Posisi (I.01019)
Pengontrolan Infeksi (I.14451)
Reduksi Ansietas (I.09134)
Regulasi Temperatur (I.14578)
Surveilans (I.14582)
Terapi Intravena (I.02086)
Referensi:
- Krassioukov, A. V., Furlan, J. C., & Fehlings, M. G. (2003). Autonomic dysreflexia in acute spinal cord injury: an under-recognized clinical entity. Journal of neurotrauma, 20(8), 707-716.
- Krassioukov, A., Warburton, D. E., Teasell, R., Eng, J. J., & Spinal Cord Injury Rehabilitation Evidence Research Team. (2009). A systematic review of the management of autonomic dysreflexia after spinal cord injury. Archives of physical medicine and rehabilitation, 90(4), 682-695.
- PPNI (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
- PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
- PPNI (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia.

Tidak ada komentar: